Langsung ke konten utama

Novel The Beginning After The End Chapter 312: Ellie POV Chapter 3 (Bag 1) Bahasa Indonesia

 

Bab 3:  Darah dari Leluhur (Bag 1) 

Ellie

Aku mendengar makhluk-makhluk itu melesat cepat dalam kegelapan sebelum wujudnya terlihat. Artefak cahaya seadanya yang ku bawa hanya menyala sekitar sepuluh kaki di sekitarku, cukup untuk menghindari pijakan yang salah tetapi tidak cukup untuk menunjukkan apa yang ada didepan atau apa yang akan datang.

Ada tiga, mungkin empat, dan mereka masih sekitar lima puluh kaki di bawah terowongan.

Tikus gua.

Kami pertama kali menemukannya saat menjelajahi terowongan di sekitar markas. Binatang buas itu tidak menimbulkan banyak ancaman bagi penampungan pengungsi; sebenarnya mereka terbukti sangat berguna karena bisa dimakan. Rasanya tidak enak, tapi tanpa mereka, memenuhi kebutuhan semua orang di sini akan jauh lebih sulit. Tetap saja, semua orang harus berhati-hati, karena tikus gua berbahaya bagi yang bepergian sendirian.

Untungnya, aku membawa Boo, jadi tidak terlalu khawatir tentang sekawanan tikus gua.

Manabeast yang mirip hewan pengerat itu seukuran serigala dan bergerak berkelompok seperti serigala juga. Dari apa yang kami ketahui, mereka adalah predator dominan di terowongan ini, bertahan dengan hama yang lebih kecil.

Aku mengayunkan busurku dari pundak dan menarik benang, memunculkan mana-arrow (anak panah). Boo mendengus, tapi kami sudah melatih ini sebelumnya. Dia akan tetap di belakangku, keluar dari garis tembakan, hingga musuh mendekat, lalu aku bisa mundur sementara dia menyerang.

Goresan cakar tikus gua di lantai batu terowongan yang kasar tiba-tiba menjadi lebih cepat, tetapi aku menunggu sampai aku melihat sepasang mata yang bersinar merah karena pantulan cahaya dari batu lentera kecilku.

String (tali panah) berdengung saat seberkas cahaya putih meluncur ke dalam kegelapan. Arrow kedua telah ku munculkan dan terpasang pada saat arrow pertama tertancap tepat di antara mata tikus terdepan.

Binatang buas itu terjatuh, terlihat sekilas dalam kegelapan. Arrow ke dua melesat melewatinya, menusuk tikus gua lainnya yang belum terlihat.

Binatang ketiga berlari melewati rekan-rekannya yang mati, berjalan dengan sangat kuat seperti beruang kecil, tetapi tidak berhasil mendekat karena salah satu arrow menghantamnya di sendi antara leher dan bahu. Kakinya lumpuh dan dia terseret ke depan dengan dadanya, kondisinya sekarat.

Aku menghilangkan penderitaannya dengan tembakan lanjutan yang menembus tengkoraknya.

Terowongan itu sunyi kecuali suara napasku sendiri dan dengusan Boo di belakangku.

"Maaf nak," kataku sambil menyeringai. "Aku berjanji akan meninggalkan beberapa mangsa untukmu lain kali—"

Gerakan dari atas menarik perhatianku: ada tikus gua keempat yang merayap menggunakan cakarnya yang kuat, perlahan melintasi langit-langit terowongan. Dia kurus dan berjamur, bulunya yang belang-belang hitam-abu-abu acak-acakan.

Bergerak perlahan, aku meletakkan tangan ke tali busur dan mulai menariknya, tetapi makhluk itu bereaksi jauh lebih cepat daripada rekannya yang sudah mati. Ia terjun ke tanah, berputar di udara untuk mendarat dengan kaki kecilnya yang keriput, lalu membuka mulutnya yang aneh dan mendesis, memuntahkan gumpalan gas kehijauan.

Aku melepaskan anak panahku, tetapi tikus gua itu — yang hanya seekor tikus — bisa melompat ke samping, berputar, dan berlari menyusuri lorong, dengan cepat bergerak keluar jangkauan sumber cahayaku yang seadanya.

Dengan terhuyung-huyung ke belakang untuk menghindari gas hijau, aku menembakkan mana-arrow lainnya dengan cepat ke depan secara bertubi-tubi, berharap untuk mengenai tikus itu, tetapi hanya mengenai batu dan gagal.

Boo meraung dan berlari melewatiku, menerobos ke dalam kegelapan mengejar tikus gua aneh itu, siap untuk mencabik-cabiknya.

Terowongan itu berbau manis campur busuk, seperti bau buah busuk, membuat mataku berair dan hidungku serasa terbakar. Aku melangkah mundur lebih jauh dan menunggu, rasa dingin menggigil di punggungku. Apa itu tadi? Aku bertanya-tanya, sambil menggosok lengan karena merinding.

Setelah kurang dari satu menit, Boo datang dengan tertatih-tatih kembali ke terowongan. Tidak adanya darah segar di moncongnya, terlihat jelas bahwa dia tidak mendapatkan makhluk itu. Aku tidak suka suasana dimana ada makhluk yang bersembunyi di suatu tempat di luar jarak pandang, menempel di langit-langit seperti kelelawar, dan memperhatikanku… aku kembali menggigil.

"Ayo kita bergerak, Boo," kataku meletakkan tanganku di atas bulunya yang tebal dan tebal. Kemudian, untuk meyakinkan diri sendiri, mengulangi kata-kata yang telah diajarkan Helen kepadaku: “*Eyes up and bow steady. Never falter and always ready.”

(*Buka mata dan angkat busur. Jangan gentar dan selalu siaga)

Bergerak cepat dan tenang, aku menahan napas saat melewati kabut busuk yang masih melayang di udara. Tikus gua yang mati terbaring di lantai, dan akan segera menarik lebih banyak tikus dari terowongan sekitarnya. Aku harus berhati-hati dalam perjalanan kembali ke kota bawah tanah.

Aku melihat ke setiap tonjolan batu yang menonjol di langit-langit dan dinding, dan kadang aku menembakkan arrow ke objek bergerak yang ternyata adalah batu yang lepas dan jatuh dari atap, tetapi dengan penerangan sederhanaku, itu terlihat seperti tikus gua.

Di setiap belokan jalan yang kulalui untuk menuju ke gua kecil milik Penatua Rinia membuat jantungku semakin berdebar. Selalu siaga saat merangkak, membungkuk, takut binatang berkulit itu melompat ke arahku dari atas atau menghembuskan asapnya yang berbahaya.

Akhirnya, aku melihat cahaya dari artefak cahaya yang tergantung di celah dinding yang berfungsi sebagai penanda pintu Penatua Rinia. Sambil menghela napas lega, aku menyadari bahwa rasa terbakar di hidungku telah berpindah ke tenggorokan dan paru-paru, dan sangat menyakitkan untuk bernapas.

Gas itu ...

Bergegas ke depan, aku menyelinap melalui celah dan menerobos ke dalam gua kecil yang dianggap oleh Penatua Rinia sebagai rumahnya.

Boo mendengus dari belakangku; dia biasanya tidak keberatan menunggu di terowongan sementara aku berbicara dengan Rinia, tetapi dia bisa merasakan kesusahanku. Aku mendengar dia mengais-ngais celah sempit di belakangku, seolah-olah dia bisa mencakar jalannya untuk membantuku.

Peramal tua itu sedang duduk di kursi anyaman dengan kaki mendekat pada api kecil yang yang dinyalakan di dalam ceruk yang terbentuk alami di sepanjang dinding gua.

Dia berbalik saat aku berjalan melewati pintunya, satu alis terangkat. “Ellie, sayang, apa yang kau—” Penatua Rinia berdiri dengan kecepatan yang mengejutkan, menatapku dengan perhatian. “Apa yang terjadi, Nak?”

Aku mencoba berbicara, tetapi hanya bisa menggerutu. “Aku — aku — t-tidak bisa—”

Peramal tua itu berada di sampingku dalam sekejap, jari-jarinya yang kasar menusuk leherku, bibirku, mendorong kepalaku ke belakang untuk memeriksa ke dalam lubang hidungku, membuka mulutku untuk memeriksa tenggorokanku.

Kepanikanku bertambah ketika Penatua Rinia bergegas ke lemari tinggi yang disandarkan ke dinding gua dan mulai menyingkirkan barang-barang yang berantakan di dalamnya. "Dimana itu? Dimana itu!"

Kemudian napasku berhenti, aku sama sekali tidak bisa bernapas. Aku tersandung ke arah elf tua itu dan jatuh berlutut, satu tangan terangkat ke arahnya untuk memohon. Paru-paruku terbakar dan mataku terasa seperti meledak dari tengkorak.

"Hah!" Penatua Rinia berteriak dari suatu tempat, meskipun dia terdengar sangat jauh. Kemudian sesuatu mendorongku dengan kasar dari samping dan aku terjungkal.

Wajah buram terlihat di depan wajahku, dan sesuatu yang dingin menempel di bibirku. Cairan es yang kental memenuhi mulutku dan mulai meluncur ke tenggorokanku, seperti seseorang telah mengucapkan mantra untuk membekukan isi perutku.

Cairan itu, apa pun itu, menggeliat di dalam paru-paru dan tenggorokanku, meski terengah-engah, menghirup udara dingin, aku masih bisa bernapas. Namun, sensasi dipenuhi dengan lendir terlalu berat bagi tubuhku, yang segera mulai bereaksi untuk menghilangkan cairan dingin itu dengan menyakitkan.

Berguling dan menompang tubuhku dengan tangan dan lutut, aku muntah seperti kucing yang batuk karena tertelan segumpal bulu.

Lumpur biru cerah berceceran di tanah di antara tanganku, menumpuk tebal, menyatu ke satu titik seperti lendir yang merayap di atas batu, kemudian mengerut, menghitam, dan mati.

Aku menyeka ludah dari bibirku yang gemetar dan berbalik, ketakutan, melihat Penatua Rinia.

Peramal tua itu tersenyum ramah dan menepuk punggungku. "Tidak apa apa. Kau baik baik saja sekarang."



Credit to Tapas as original english publisher. Support author dengan baca dan subscribe versi inggrisnya di tapas. Banyak bonusnya juga. Dengan harga terjangkau kalian bisa baca banyak novel.

Komentar

Posting Komentar