Ibuku bukanlah orang yang jahat. Faktanya, dia selalu menjadi wanita yang sangat baik. Namun, tekanan menjadi seorang ibu dari Arthur Leywin membuatnya lelah. Dia dipaksa untuk mengeraskan diri melawan stres dan kekhawatiran yang terus-menerus karena memiliki seorang putra seperti Arthur yang selalu pulang sebentar dan pergi keesokan harinya, dan selalu, di mana pun dia berada, menghadapi bahaya kematian yang terus-menerus.
Atau itulah yang terus ku ingatkan pada diri sendiri karena, selama satu jam penuh, dia menceramahiku tentang betapa ceroboh, bodoh, tidak dewasa, berbahaya, dan bodohnya aku untuk pergi sendiri ke dalam terowongan. Dan mengatakan bahwa dia telah memberitahu semua orang mulai dari Penatua Rinia hingga Komandan Virion, bahkan kepada wanita elf tua yang yang tinggal di sebelah rumahku, dia tidak akan mengizinkanku untuk misi atau perburuan atau penyerangan apa pun tanpa izin tertulis darinya.
Dia melepaskan seluruh amarahnya terhadapku dengan bersikeras bahwa jika sesuatu terjadi padaku, dia akan mati karena patah hati, dan apakah aku ingin bertanggung jawab untuk itu?
Aku berdiri dari tempat duduk di lantai, punggungku menempel ke dinding di lantai dua rumah. Ibu sedang duduk di meja makan, menutup wajahnya dengan tangan, air matanya mengalir.
Aku melintasi ruangan dan berjalan di belakangnya, lalu membungkuk dan memeluknya, meletakkan pipiku di bahunya.
Ada seratus hal yang ingin kukatakan padanya: betapa aku mencintainya, betapa sedihnya aku karena Arthur dan Ayah pergi, betapa aku berharap dia tidak perlu begitu marah dan takut sepanjang waktu; aku tidak bisa hanya duduk diam dan menyaksikan Dicathen berjuang untuk bertahan…
Tapi sebaliknya, yang aku katakan adalah, "Aku akan ke Elenoir untuk melawan Alacryan, Bu."
Ibuku berdiri dari kursinya, melepaskan cengkeramanku dan hampir menjatuhkanku ke belakang. Dia melangkah ke seberang ruangan, mencabut karet gelang dari rambutnya yang menahan kuncir kudanya, lalu berbalik dan mengacungkannya padaku seperti cambuk.
"Apa kau tidak mendengar sumpah serapahku, Eleanor?" Rambut kusutnya terurai di sekitar wajah merah cerahnya. Dia tampak seperti orang gila.
Berbicara perlahan dan tenang, aku berkata, "Sudah, Bu, aku mendengarnya. Aku telah mendengarkan setiap kata, dan sekarang aku ingin ibu mendengarkanku." Dia mengejek, tapi aku mengangkat tangan dan terus berbicara, menanamkan kepercayaan sebanyak yang bisa ku kumpulkan ke dalam kata-kataku. “Aku harus melakukan sesuatu, Bu. Aku harus."
Aku menunjuk ke langit-langit tempat berlindung kecil kami. “Di suatu tempat di atas sana, saat ini, seorang ibu sedang melihat anaknya meninggal, istri, suaminya, saudara perempuan, atau saudara laki-lakinya. Kita bukan satu-satunya yang kehilangan seseorang, Bu. Semua orang telah kehilangan keluarganya!" Aku memohon sekarang, rasa percaya diri hilang dari nadaku, tapi aku tidak peduli. Aku harus membuatnya mengerti.
Dia membuka mulutnya ingin menjawab, tetapi aku terus melanjutkan, tahu bahwa jika aku berhenti berbicara sekarang, aku tidak akan mampu mengeluarkan kata-kata lagi. “Kita ini beruntung, Bu! Termasuk yang beruntung. Begitu banyak orang — rata-rata — tidak punya kesempatan untuk melawan. Tapi kita punya! Kita bisa membuat perbedaan, bersama-sama."
“Jika aku hanya duduk di sini, hal di dalam diriku yang bisa digunakan untuk membantu akan berbalik menyerangku, itu akan memakanku dari dalam seperti lintah. Jika aku tidak melakukan sesuatu, aku mungkin sudah mati!"
Aku menyadari bahwa aku terengah-engah seperti Boo dan hampir menangis. Ibuku, di sisi lain, sepertinya sudah sadar. Dia menatapku dengan pandangan yang tidak pernah kulihat di wajahnya sebelumnya.
Setelah beberapa saat, dia melintasi ruangan lagi, meraih tanganku, dan membawaku kembali ke meja. Kami duduk dan dia hanya menatapku dalam diam untuk beberapa saat.
"Ada sesuatu yang seharusnya sudah lama kukatakan padamu, Ellie." Ibu menatap mataku, berhenti sejenak untuk memastikan aku mendengarkan, lalu melanjutkan. “Kau tumbuh besar di era berpetualangan, era kekacauan dan era perang ini, berteman dengan para putri dan mana beast, belajar sihir dan bertarung — tapi itu bukanlah kehidupan yang seharusnya kau tuju.”
Aku menatapnya dengan ragu. "Maksudmu apa?"
Ibuku mengetukkan jari-jarinya di atas meja kuno, menatap ke bawah ke arah kayu yang membatu seolah-olah disana tertulis kata-kata yang akan di katakannya. “Saudaramu… dia menarik kita ke dalam kehidupan yang harusnya tidak kita miliki, ya, semua itu karena dia. tapi Arthur berbeda.”
Dia menatapku, mataku, wajahku, untuk memahami. Aku ingin memanfaatkan momen kebersamaan ini dengan ibuku, tetapi aku tidak begitu yakin apa yang dia coba katakan.
Sambil mendesah, dia mengulurkan tangan dan meletakkan tangannya di tanganku. “Arthur… tapi ini sulit untuk dijelaskan.”
“Apakah ini tentang Arthur yang bereinkarnasi?” Aku bertanya, kata-kata ibuku benar-benar ada di kepalaku.
Dia ternganga, matanya lebar dan mulutnya terbuka. “Bagaimana kau bisa tahu?” Aku bisa melihatnya ragu-ragu, sebelum dia bertanya, "Apakah Arthur memberitahumu?"
Aku menggelengkan kepala. “Tidak, meski aku berharap dia melakukannya. Aku menyimpulkannya dari hal-hal yang Ibu dan Ayah bicarakan. Aku tidak sengaja mendengar kalian cek-cok beberapa kali saat di kastil, saat Arthur berlatih dengan para Asura." Melihat ekspresi terkejut masih di wajahnya, aku menghela nafas. Aku tidak bodoh, Bu.
Dia meremas tanganku dan tersenyum. “Tidak, nak, tentu kau tidak bodoh.”
"Aku tidak mengerti mengapa itu penting. Hanya karena dia memiliki kenangan dari kehidupan lain bukan berarti dia bukan kakakku. Dia masih orang yang sama yang bercanda denganku, yang berdiri di sampingku, yang membantuku ... Dia tidak selalu ada, tapi dia selalu memperlakukanku seperti adik perempuannya."
“Aku tahu, Ellie, dan kau benar. Tidak apa-apa. Tidak lagi. Namun, yang ku ingin kau pahami adalah bagaimana Arthur bisa ada di kehidupan ini. Kupikir… kupikir dia dibawa ke sini untuk memperjuangkan Dicathen…” Ibu mulai goyah, hampir kehilangan kata-kata. “Dia adalah penyihir quadra-elemental dengan pengalaman tempur di dua masa hidup, Ellie. Tapi kau— "
Hanya seorang gadis? Tanyaku, amarahku membara. “Arthur sudah tiada, Bu, jadi apa pun alasan Arthur terlahir kembali bersama kita, tujuannya pasti sudah terpenuhi, kan?”
"Atau gagal ..." jawabnya sedih, tidak menatap mataku.
“Dia bisa saja ada di sini untuk menginspirasi kita, untuk menunjukkan kepada kita apa yang bisa kita lakukan, sehingga ketika dia pergi, kita tahu kita masih bisa menang tanpa dia. Aku tahu Ibu berpikir lebih aman membiarkan Virion dan Bairon dan yang lainnya menangani sesuatu, tapi aku tidak ingin melarikan diri dari tanggung jawab yang ku miliki sebagai penyihir terlatih."
Aku menatap ibuku dengan tatapan tajam yang kupelajari dari Arthur. “Aku tahu apa yang terjadi pada Ayah dan Kakak. Aku juga takut, tapi aku ingin bertarung."
Mulutnya terbuka, tapi tertutup lagi saat dia menyeka air matanya. Ibuku tertawa serak. "Kurasa itu salahku sendiri karena membesarkanmu menjadi wanita muda yang kuat dan jujur."
Senyuman muncul di bibirku saat aku berjalan mengitari meja dan menarik ibuku ke dalam pelukan.
Credit to Tapas as original english publisher. Support author dengan baca dan subscribe versi inggrisnya di tapas. Banyak bonusnya juga. Dengan harga terjangkau kalian bisa baca banyak novel.