Bab 359: Potensial (Bag 3)
ELDER RINIA
Begitu putri Leywin dan beast-nya pergi, aku kembali ke pekerjaanku.
Berbaring di tempat tidur, aku tidak bisa melihat apa pun, mataku sekarang tidak berguna. Tapi itu tidak masalah. Hanya mata ketigaku yang dibutuhkan, mata yang bisa melihat melampui yang ada di sekitarku dari masa kini hingga apa yang bisa terjadi di masa yang akan datang.
Intiku sakit ketika aku menggunakan mana, dan aku berjuang untuk membangun kekuatan yang cukup untuk merapal mantra. Tubuh tua terkutuk, aku mengutuk diriku sendiri. Tetapi aku tahu bahwa, sebenarnya, tubuh fisikku telah bertahan jauh lebih lama dari yang seharusnya.
Kakak perempuankulah yang mempelajari ramuan yang bisa memperkuat tubuh, bahkan saat kekuatan hidup kami memudar. Meski terlambat baginya untuk menggunakannya sendiri—namun dibandingkan dengan upayanya yang sangat besar untuk menyelamatkan nyawa Virion, dia tidak pernah memaksakan dirinya seperti yang kulakukan sekarang.
Kukirim ucapan terima kasih senyap padanya, dimanapun arwahnya bersemayam di alam baka. Aku belum bisa memastikan apakah usahaku akan membuat perbedaan pada akhirnya, tapi aku mendapatkan perpanjangan waktu berbulan-bulan berkat ramuan yang masih menggelegak di atas api kecilku.
Mantra ramalan, aku merasa diriku rileks saat mata ketiga terbuka dalam rohku. Melalui mata metafisik ini, dunia aetheric menjadi terlihat, mengungkapkan jaringan rumit tak terhingga dari jalinan benang yang menyebar ke masa depan. Namun, hanya melihat itu saja tidak cukup.
Seperti yang telah diajarkan masterku, aku mengulurkan tangan ke arah aevum (aether yang merepresentasikan waktu)… perlahan, ragu-ragu, seperti seseorang akan mendekati binatang setengah liar. Tapi ketertarikanku pada aevum-lah yang memberiku kekuatan meramal, dan seperti ribuan kali sebelumnya, aether bereaksi, melayang ke mata ketigaku dan menghubungkan pikiranku dengan permadani yang kemungkinan adalah masa depan yang terbentang di hadapanku.
Aku mengabaikan beberapa jalur bercabang.
Sekarang sudah dimana aku…
Memilih seutas benang aether, aku menariknya sedikit. Itu menarikku kembali, menarik kesadaranku ke sepanjang garis waktu yang ada padanya.
Ketika aku tidak menyukai apa yang kulihat, aku meraih cabang dari benang itu dan mencabutnya.
Itu bahkan lebih buruk.
Aku tahu di mana aku harus berada, dan kapan. Tapi ada lebih dari sekedar berada di tempat yang tepat pada waktu yang tepat, terlepas dari apa yang aku katakan kepada Ellie. Sebuah perjalanan sama pentingnya dengan tujuan.
Yang membuat semakin frustasi adalah bahwa aku kehabisan waktu.
Sambil menghela nafas gemetar, aku memilih benang berikutnya, lalu yang berikutnya, dan berikutnya lagi.
ELEANOR LEYWIN
Aku terbangun dari tidurku karena sensasi jatuh, seperti tersandung dalam mimpi.
Terowongan itu berkabut dan udaranya memiliki bau yang menyengat dan manis yang membuat perutku sesak dan kepalaku pusing.
"Boo?" tanyaku. "Apa itu?"
Pikiranku masih lambat karena baru bangun, dan aku belum sadar sepenuhnya, tapi aku yakin ada yang tidak beres dengan Boo. Dia berjalan lamban, mengambil napas dalam-dalam, mendengus, susah payah ...
Bondku mengeluarkan rengekan gugup. Aku menepuk lehernya dan berkata, “Hei, ini hanya kabut, Boo, kita…”
Aku menghirup udara lagi. Kabut itu…
Menutup mataku, aku fokus pada beast will yang bersembunyi di inti manaku, yang sekarang berwarna oranye gelap. Menjangkau ke dalam diriku sendiri, aku melepas beast will, kepekaanku meningkat dan menerima semburan bau dan suara dari indraku yang dipertajam.
Terowongan itu lembap dan sedikit berbau busuk. Seperti bau busuk yang ditinggalkan oleh tikus gua yang dulu tinggal di sini, tetapi bau busuk dari kabut ini bahkan lebih parah. Terowongan itu hampir seluruhnya sunyi. Di suatu tempat di bawahku, aku hanya bisa mendengar derai air yang samar menetes dari atap gua dan memercik ke kolam yang dangkal, suara lain yang terdengar hanyalah langkah Boo yang tidak menentu dan suara jantungku yang lambat. Langkah-langkahnya kasar.
Boo melangkah lagi, mengirimkan sentakan tidak nyaman ke perutku.
Aku meraih busurku, tapi tidak bisa melepaskannya dari punggungku. Salah satu kaki Boo melemah, dan aku terjatuh hingga mendarat dengan keras di tanah. Aku tahu bahwa itu seharusnya menyakitkan, tetapi yang bisa ku rasakan hanyalah keinginan yang luar biasa untuk memejamkan mata.
Rahang kuat Boo menutup di bagian belakang bajuku dan dia mulai menyeretku, tetapi bahkan melalui indraku yang berkabut, aku bisa mendengar napasnya yang terengah-engah.
"Boo…?"
Aku tertawa mendengar suaraku sendiri, cadel dan konyol. Aku tahu aku seharusnya takut, tapi sungguh, aku hanya merasa sangat...mengan...tuk...
Boo melepaskanku, mengeluarkan geraman peringatan. Aku baru saja berhasil memutar kepalaku, cukup untuk melihat ke bawah terowongan, di mana aku bisa melihat dua siluet mendekat. Wajah mereka tertutup…atau mungkin itu hanya mataku yang kabur.
“Tenang, big guy,” kata salah satu siluet itu, suara mereka teredam oleh kain.
Boo meraung dan menerjang, cakar besarnya menebas dengan liar ke arah sosok-sosok itu. Mereka mengelak.
“Kau… tangkap mereka… Boooo,” teriakku.
Boo meluncur ke depan dan tersandung di tanah sambil mengayunkan cakarnya. Dia mengeluarkan gerutuan kecil yang kukira terkesan takut, lalu semuanya menjadi gelap.
Melalui kegelapan, aku bisa mendengar langkah kaki mendekat.
“Jangan… main-main… denganku,” gumamku lemah. “Aku… a…”
Lengan yang kuat mengangkatku seperti aku masih bayi.
“Leywin…”
Sebuah suara, lembut dan sedih, bergema dari kegelapan yang mengelilingiku.
"Maaf, Eleanor."
***
Begitu putri Leywin dan beast-nya pergi, aku kembali ke pekerjaanku.
Berbaring di tempat tidur, aku tidak bisa melihat apa pun, mataku sekarang tidak berguna. Tapi itu tidak masalah. Hanya mata ketigaku yang dibutuhkan, mata yang bisa melihat melampui yang ada di sekitarku dari masa kini hingga apa yang bisa terjadi di masa yang akan datang.
Intiku sakit ketika aku menggunakan mana, dan aku berjuang untuk membangun kekuatan yang cukup untuk merapal mantra. Tubuh tua terkutuk, aku mengutuk diriku sendiri. Tetapi aku tahu bahwa, sebenarnya, tubuh fisikku telah bertahan jauh lebih lama dari yang seharusnya.
Kakak perempuankulah yang mempelajari ramuan yang bisa memperkuat tubuh, bahkan saat kekuatan hidup kami memudar. Meski terlambat baginya untuk menggunakannya sendiri—namun dibandingkan dengan upayanya yang sangat besar untuk menyelamatkan nyawa Virion, dia tidak pernah memaksakan dirinya seperti yang kulakukan sekarang.
Kukirim ucapan terima kasih senyap padanya, dimanapun arwahnya bersemayam di alam baka. Aku belum bisa memastikan apakah usahaku akan membuat perbedaan pada akhirnya, tapi aku mendapatkan perpanjangan waktu berbulan-bulan berkat ramuan yang masih menggelegak di atas api kecilku.
Mantra ramalan, aku merasa diriku rileks saat mata ketiga terbuka dalam rohku. Melalui mata metafisik ini, dunia aetheric menjadi terlihat, mengungkapkan jaringan rumit tak terhingga dari jalinan benang yang menyebar ke masa depan. Namun, hanya melihat itu saja tidak cukup.
Seperti yang telah diajarkan masterku, aku mengulurkan tangan ke arah aevum (aether yang merepresentasikan waktu)… perlahan, ragu-ragu, seperti seseorang akan mendekati binatang setengah liar. Tapi ketertarikanku pada aevum-lah yang memberiku kekuatan meramal, dan seperti ribuan kali sebelumnya, aether bereaksi, melayang ke mata ketigaku dan menghubungkan pikiranku dengan permadani yang kemungkinan adalah masa depan yang terbentang di hadapanku.
Aku mengabaikan beberapa jalur bercabang.
Sekarang sudah dimana aku…
Memilih seutas benang aether, aku menariknya sedikit. Itu menarikku kembali, menarik kesadaranku ke sepanjang garis waktu yang ada padanya.
Ketika aku tidak menyukai apa yang kulihat, aku meraih cabang dari benang itu dan mencabutnya.
Itu bahkan lebih buruk.
Aku tahu di mana aku harus berada, dan kapan. Tapi ada lebih dari sekedar berada di tempat yang tepat pada waktu yang tepat, terlepas dari apa yang aku katakan kepada Ellie. Sebuah perjalanan sama pentingnya dengan tujuan.
Yang membuat semakin frustasi adalah bahwa aku kehabisan waktu.
Sambil menghela nafas gemetar, aku memilih benang berikutnya, lalu yang berikutnya, dan berikutnya lagi.
ELEANOR LEYWIN
Aku terbangun dari tidurku karena sensasi jatuh, seperti tersandung dalam mimpi.
Terowongan itu berkabut dan udaranya memiliki bau yang menyengat dan manis yang membuat perutku sesak dan kepalaku pusing.
"Boo?" tanyaku. "Apa itu?"
Pikiranku masih lambat karena baru bangun, dan aku belum sadar sepenuhnya, tapi aku yakin ada yang tidak beres dengan Boo. Dia berjalan lamban, mengambil napas dalam-dalam, mendengus, susah payah ...
Bondku mengeluarkan rengekan gugup. Aku menepuk lehernya dan berkata, “Hei, ini hanya kabut, Boo, kita…”
Aku menghirup udara lagi. Kabut itu…
Menutup mataku, aku fokus pada beast will yang bersembunyi di inti manaku, yang sekarang berwarna oranye gelap. Menjangkau ke dalam diriku sendiri, aku melepas beast will, kepekaanku meningkat dan menerima semburan bau dan suara dari indraku yang dipertajam.
Terowongan itu lembap dan sedikit berbau busuk. Seperti bau busuk yang ditinggalkan oleh tikus gua yang dulu tinggal di sini, tetapi bau busuk dari kabut ini bahkan lebih parah. Terowongan itu hampir seluruhnya sunyi. Di suatu tempat di bawahku, aku hanya bisa mendengar derai air yang samar menetes dari atap gua dan memercik ke kolam yang dangkal, suara lain yang terdengar hanyalah langkah Boo yang tidak menentu dan suara jantungku yang lambat. Langkah-langkahnya kasar.
Boo melangkah lagi, mengirimkan sentakan tidak nyaman ke perutku.
Aku meraih busurku, tapi tidak bisa melepaskannya dari punggungku. Salah satu kaki Boo melemah, dan aku terjatuh hingga mendarat dengan keras di tanah. Aku tahu bahwa itu seharusnya menyakitkan, tetapi yang bisa ku rasakan hanyalah keinginan yang luar biasa untuk memejamkan mata.
Rahang kuat Boo menutup di bagian belakang bajuku dan dia mulai menyeretku, tetapi bahkan melalui indraku yang berkabut, aku bisa mendengar napasnya yang terengah-engah.
"Boo…?"
Aku tertawa mendengar suaraku sendiri, cadel dan konyol. Aku tahu aku seharusnya takut, tapi sungguh, aku hanya merasa sangat...mengan...tuk...
Boo melepaskanku, mengeluarkan geraman peringatan. Aku baru saja berhasil memutar kepalaku, cukup untuk melihat ke bawah terowongan, di mana aku bisa melihat dua siluet mendekat. Wajah mereka tertutup…atau mungkin itu hanya mataku yang kabur.
“Tenang, big guy,” kata salah satu siluet itu, suara mereka teredam oleh kain.
Boo meraung dan menerjang, cakar besarnya menebas dengan liar ke arah sosok-sosok itu. Mereka mengelak.
“Kau… tangkap mereka… Boooo,” teriakku.
Boo meluncur ke depan dan tersandung di tanah sambil mengayunkan cakarnya. Dia mengeluarkan gerutuan kecil yang kukira terkesan takut, lalu semuanya menjadi gelap.
Melalui kegelapan, aku bisa mendengar langkah kaki mendekat.
“Jangan… main-main… denganku,” gumamku lemah. “Aku… a…”
Lengan yang kuat mengangkatku seperti aku masih bayi.
“Leywin…”
Sebuah suara, lembut dan sedih, bergema dari kegelapan yang mengelilingiku.
"Maaf, Eleanor."
***
Credit to Tapas as original english publisher. Support author dengan baca dan subscribe versi inggrisnya di tapas.
Gabung ke Tapas menggunakan invite code AMIR280K untuk mendapatkan sekaligus menyumbang Ink!