Novel The Beginning After The End Chapter 360 (Bag 3) Bahasa Indonesia

 


 
Bab 360:  Blood Relic (Bag 11)
 
Perpustakaan itu—atau bayangan immaterial darinya yang telah kulihat dari sudut mataku tadi—hilang, digantikan oleh reruntuhan yang mirip dengan tempat aku menemukan proyeksi Djinn pertama. Seperti perpustakaan, aku hanya bisa melihatnya ketika aku tidak melihatnya secara langsung, dan aku tidak tahu bagaimana untuk mencapainya, karena rasanya seperti kami sudah ada di sana.

'Gerbangnya,' kara Regis. "Jika kita bisa mencapainya entah bagaimana caranya."

Mata Caera terbuka, dan dia melepaskan tangannya dari tanganku dan menegakkan tubuhnya. Dia pucat dan sedikit berkeringat, tetapi menguatkan dirinya melawan disorientasi yang memuakkan dari zona yang acak ini. “Tempat yang mengerikan…”

“Kurasa itu tidak dimaksudkan untuk—” Melihat Caera, aku menyadari dengan panik karena tanduknya terlihat.

Takut bahwa zona itu entah bagaimana mengganggu sihir, sama seperti di zona beku, aku memeriksa armor baruku, menatap sisiknya dan mengulurkan tangan untuk menyentuh tanduk... tapi armor itu masih utuh. Namun, sesuatu di zona itu mempengaruhinya, menyebabkannya memancarkan semacam aura yang tampaknya, entah bagaimana, menstabilkan area di sekitarku.

Ketika aku menundukkan kepala untuk melihat melalui aura sempit—zona selebar setengah inci di sekitarku di kembalikan ke bentuk yang seharusnya—aku bisa melihat seluruh koridor yang tidak terputus mengelilingi kami.

Dengan Caera di sisiku—dia menghunus pedang panjangnya untuk membantu menjaga keseimbangannya saat dia berjalan di sepanjang koridor yang tidak bisa dia lihat sepenuhnya—aku memimpin jalan di sepanjang lorong, menggunakan bayangan yang terlihat melalui aura kabur yang mengelilingi armorku untuk memilih arah. sampai kami berdiri di depan gerbang kristal hitam.

Dalam pikiranku, sebuah suara yang serak dan terputus-putus berkata, 'Masuklah....selamat datang....descendant (pewaris)...silahkan,' menyebabkan rasa sakit di belakang pelipis kananku.

Jutaan pecahan gerbang kristal terlipat ke luar, terbentang seperti bendera dan larut menjadi badai abu. Aku menunggu, tiba-tiba sudah berdiri di perpustakaan yang sebelumnya ku lihat dari sudut mataku, tetapi tidak ada yang terjadi. Kemudian gerbang itu terbentuk kembali, pecahan kristal muncul kembali dan terbang kembali bersama.

'Masuklah....selamat datang....descendant...silahkan,' terdengar di kepalaku untuk kedua kalinya, mendorong rasa sakit yang lebih dalam.

Suara Regis terdengar kabur ketika dia berkata, 'Kita perlu melakukan sesuatu, bos. Sepertinya Caera tidak bisa bertahan lama di sini.

Caera sedikit terhuyung-huyung, matanya terpejam erat karena terpengaruh dengan pola tidak nyata dari gerbang yang pecah dan berubah. “Apa yang terjadi, Grey? Aku tidak tahan untuk membuka mataku ... "

Membuka mata melawan tekanan berat dari zona tidak seimbang ini, aku melihat gerbang kristal itu hancur dan mulai terbentuk kembali. Beberapa naluri bertahan hidup yang tertanam jauh di dalam diriku memperingatkan agar tidak melangkah ke gerbang. Aku membayangkan terjebak dalam lingkarannya selamanya, hancur dan menyatu kembali berulang kali sampai Relictomb terdegradasi dan zona itu runtuh …

Aku melihat ruangan melingkar dari batu yang hancur itu lagi dari sudut mataku. Itu sangat dekat, seperti aku hanya bisa…

Seketika sadar, aku tidak memfokuskan mataku lagi dan mencari jalur aetheric yang bisa ku akses dengan God Step, tetapi jalur-jalur itu melengkung dan terikat di antara mereka sendiri. Tapi jika aku benar, itu tidak masalah.

Aku meraih lengan Caera dan mengaktifkan godruneku.

Zona itu berubah menjadi tiruan dari peninggalan pertama yang ku kunjungi, terbuat dari batu berwarna abu-abu, rusak dan hancur di beberapa tempat. Di tengah ruangan ada tugu yang dipenuhi rune, dikelilingi oleh empat cicin batu yang berputar. Kalau tidak salah, seharusnya ada empat.

Namun, hanya ada dua cincin batu yang berputar lambat. Dari pecahan batu yang hancur di bawah tugu, sudah jelas apa yang telah terjadi pada dua cincin lainnya.

Seperti sebelumnya, kristal kecil melayang di atas tugu, berdenyut dengan cahaya lavender yang tidak konsisten. Dan seperti sebelumnya, ada sesuatu di dalam ruangan, sesuatu selain kristal, yang mengandung aether dalam jumlah besar.

Seorang wanita melangkah keluar dari balik pilar. Caera mengangkat pedangnya untuk membela diri, tapi aku meletakkan tangan di bahunya. Dia menatapku dengan pandangan penuh tanya sebelum perlahan menurunkan senjatanya.

Wanita itu mengabaikan Caera sepenuhnya. Mata ungunya yang bersinar terkunci padaku, atau lebih tepatnya pada armorku.

Tingginya hanya lima kaki, dan sangat kurus hingga tampak lemah. Kulitnya berwarna merah muda-lavender redup, rambutnya yang dipotong pendek berwarna kecubung, dan dia hanya mengenakan celana pendek putih dan penutup dada yang menampilkan pola rune bentuk mantra yang saling terkait yang menutupi seluruh tubuhnya. Proyeksi Djinn pertama yang ku temui dulu tenang dalam gerakan dan sikap, tapi tatapan teguh dan keanggunan mulia dari wanita ini membawa intensitas kemarahan yang sepertinya memancar darinya seperti panas dari api yang membara.

Dia memberiku senyum yang lemah dan sedih. “Jadi, pada akhirnya, seseorang mewarisi ciptaanku. Sebenarnya, aku berharap kuilnya tidak terganggu sampai akhir zaman.”

“Ciptaanmu?”

Dia menundukkan kepalanya, menunjuk ke armor yang ku kenakan. “Ketika keburukan Clan Indrath yang memilih menghancurkan orang-orang kami karena kami tidak mau memberi tahu mereka wawasan tentang aether mulai terlihat, Aku berusaha membentuk perlawanan terhadap mereka. Sangat sedikit yang bersedia untuk melawan bersamaku, untuk membantuku menempa baju besi itu, terlalu sedikit, dan terlalu terlambat saat kami menyadarinya. Daripada mengenakannya sendiri dan menyerbu sendirian ke dalam pertempuran yang jelas kalah, aku merancang zona yang telah kau lalui, dengan harapan suatu hari nanti dapat diwarisi oleh seseorang yang bersedia bertarung melawan asura.

Caera memberiku ekspresi bingung. “Grey, apa yang terjadi? Apa ini… seorang penyihir kuno?”

Aku menunjuk ke kristal, yang berkedip-kedip seperti artefak cahaya yang hang hampir padam. “Tidak, bukan yang asli. Dia hanyalah kesadaran, ingatan yang disimpan dalam kristal itu. Mereka seperti ... penjaga atau semacamnya.” Kepada wanita Djinn, aku berkata, “Proyeksi terakhir yang ku temui jauh lebih terkejut saat melihatku. Kenapa kau tidak?”

“Aku sedikit terhubung dengan ingatannya, dan aku tahu Kau akan datang. Aku hanya berharap Kau akan tiba sebelum tugu yang menampung kesadaranku runtuh sepenuhnya.” Dia menyenggol sepotong lingkaran batu yang pecah dengan jari kakinya. “Prediksi waktuku … tidak akurat, tapi aku tahu waktu yang tersisa terbatas. Kita harus segera memulai ujiannyanya.”

"Ujian?" Caera menggelengkan kepalanya. "Aku tidak mengerti."

Aku segera menjelaskan apa yang terjadi saat terakhir kali aku menemukan salah satu proyeksi Djinn ini, dan aku yakin masing-masing Djinn melindungi sepotong pengetahuan—yang tersembunyi di keystone—yang dapat membantuku memperoleh kekuatan baru.

"Apa kita akan saling bertarung?" Aku bertanya kepada wanita Djinn itu, yang telah memperhatikan kami dengan rasa ingin tahu saat aku menjelaskan.

Dia tersenyum kecut. “Sayangnya aku ditugaskan untuk menggunakan jenis ujian yang berbeda. Hukumanku, karena menyatakan perlawanan melawan terhadap kaum naga dianggap sebagai kebodohan dan kesalahan karena bertentangan dengan prinsip perdamaian.”

Dia mengangkat tangan untuk mencegah pertanyaan yang sudah terbentuk di bibirku. “Namun, ini menunjukkan ketidakmampuan kaumku untuk memahami niat dari bertarung—niat untuk membela diri—sehingga mereka tidak melarangku untuk meneruskan teknik bela diri yang ku kembangkan dalam hidupku. Dengan menugaskanku menggunakan ujian berbasis mental alih-alih ujian fisik, mereka mungkin berasumsi bahwa aku hanya akan melakukan seperti yang diperintahkan dan tidak ada yang lain.

Dia menurunkan lengannya ke samping, dan pisau aether muncul di tangan kirinya. Itu panjang, tipis, dan sedikit melengkung, bentuknya sangat jelas tanpa getaran, tidak seperti yang ku hasilkan saat aku memaksa aether membentuk senjata. Jumlah energi yang terkandung dalam bilah tunggal itu sebanding dengan beberapa aetheric blasts.

"Seperti yang ku katakan: berpandangan-sempit." Kemudian pedang kedua muncul di sebelah kanannya. Dia menyilangkannya di depannya, titik-titik tajamnya membakar menggaris batu di bawah kakinya, dan ketika mereka menyentuh satu sama lain, bunga api beterbangan mendesis dan meletus di udara.

“Kau telah menunjukkan kekuatan untuk melawan, menyerang dan menumpahkan darah musuh kami. Kau persis seperti yang ku tunggu-tunggu, dan aku akan melatihmu untuk menggunakan aether tidak hanya sebagai alat, tetapi juga sebagai senjata penghancur yang sesungguhnya.”



Credit to Tapas as original english publisher. Support author dengan baca dan subscribe versi inggrisnya di tapas.
 
Suport admin:
Gabung ke Tapas menggunakan invite code AMIR280K untuk mendapatkan sekaligus menyumbang Ink!
 

Commento

Postingan populer dari blog ini

Novel The Beginning After The End Chapter 345 (Bag 1) Bahasa Indonesia

Novel The Beginning After The End Chapter 445 Bahasa Indonesia

Novel The Beginning After The End Chapter 443 Bahasa Indonesia