Langsung ke konten utama

Novel The Beginning After The End Chapter 361 (Bag 1) Bahasa Indonesia

 


 
Bab 361:  Reruntuhan/Peninggalan Ke Dua (Bag 1)
 
Mataku tetap tertuju pada sepasang pedang aetheric yang bersinar di tangan wanita Djinn itu. Kekaguman, kegembiraan, dan kecemburuan berputar dalam diriku saat aku memeriksa ciptaannya yang hampir sempurna hingga aku dengan paksa mengalihkan pandanganku. "Bagaimana dengan ujian yang seharusnya kau berikan padaku?"

"Sudah dimulai," jawabnya dengan percaya diri. "Kelayakanmu dinilai selama pertarungan ini." Dia bertumpu pada tumitnya lalu seluruh ruangan menghilang, melelehkan armorku dan semua yang ada di sekitar kami menjadi ruang putih kosong. “Jangan buang waktu lagi.”

Djinn itu melintas ke arahku, wujudnya menjadi seberkas cahaya berwarna kecubung saat sepasang pedangnya mengayun membentuk lengkungan lebar di tenggorokanku.

Aku berputar dengan bertumpu pada tumitku, menangkis pukulannya dengan menyerang tangannya sebelum aku memaksa aether menjadi bentuk pedang yang tidak sempurna. Menggunakan jeda singkat saat dia mengangkat pedangnya kembali, aku menusuk bagian sampingnya dengan belatiku.

Djinn itu berputar di tengah ayunan, memutar seluruh tubuhnya dengan keras untuk mendapatkan momentum untuk mencegat seranganku dengan pedang kirinya.

Percikan api berkobar saat pedang bertumbukan, tetapi satu-satunya senjata yang bertahan setelah benturan itu adalah miliknya.

Djinn hampir tidak memberiku celah saat dia memulai serangannya, sepasang pedangnya menjadi rentetan gelombang sabit yang bersilangan untuk mencabik-cabikku.

Aku membuat pedangku berulang kali, setiap kali kucoba membuatnya lebih keras untuk memaksa bentuk pedang itu tetap bertahan, mencoba menangkis serangannya, tetapi tidak ada yang bertahan lebih dari satu serangan.

"Kau menahan diri," kata Djinn itu dengan singkat, menyatukan kedua tangannya ke depan. Kedua pedang itu menyatu menjadi bentuk tongkat panjang. Berputar dengan kaki depannya, dia menggunakan senjata barunya dengan kedua tangan dan menyapu kakiku dengan gagang tongkatnya.

Aku jatuh bertumpu dengan satu lututku, dan saat aku melihatnya kembali, tongkatnya sudah menjadi palu perang.

Petir ungu menyebar di seluruh tubuhku saat God Step membawaku beberapa puluh kaki menjauh tepat saat gada raksasa itu menciptakan kekuatan gelombang kejut saat membentur lantai putih.

Ekspresi Djinn berambut pendek berubah menjadi terkejut untuk pertama kalinya, matanya melebar dan alisnya berkerut saat dia memahami apa yang baru saja terjadi.

"Lagi," dia menggeram, meluncurkan dirinya ke arahku dengan sangat cepat.

Aku melangkah maju, berkonsentrasi pada jalur aetheric yang mengelilinginya bahkan saat aku membuat pedangku sendiri. Menepis serangannya saja sudah membuat pedang aether-ku hancur, tapi itu memberiku cukup waktu.

Sulur petir ungu melintas di sekitarku sekali lagi saat aku melintas ke belakang Djinn. Namun, dalam waktu yang aku butuhkan untuk membentuk pedang aether-ku yang lain, pedang aether miliknya sudah berhasil mencegat seranganku.

“Jika kau memilih untuk menyerang dengan kepalan tanganmu, kemungkinan besar aku tidak akan bisa menahannya,” akunya, matanya yang tajam sepertinya melihat ke dalam diriku bukannya ke arahku. “Pikiranmu sepertinya telah menghubungkan godrune-mu dengan elemen petir dari deviant-mana. Ini menjelaskan banyak hal tentang kecenderunganmu saat menggunakan aether.”

Aku mengernyitkan alisku bingung. "Kecenderunganku?"

Djinn itu mengabaikan pertanyaanku, menusukkan pedang aetheric-nya ke tanah dan dengan santai bersandar padanya. “Sebelum itu, aku ingin bertanya dulu apa yang kau inginkan dariku, Arthur Leywin,” dia bertanya, nadanya kasar.

Aku membeku sebelum menjawab, menyadari dia telah menyebut nama asliku.

Poni pendek Djinn itu terayun-ayun saat dia memiringkan kepalanya ke samping. "Apa kau sudah merasa tidak nyaman dengan nama itu?"

"Tidak," jawabku, lengah. Aku tidak yakin bagaimana perasaanku. Sudah berbulan-bulan sejak siapa pun kecuali Regis memanggilku dengan nama asliku, dan aku menyadari bahwa aku sudah terlalu terbiasa mendengar diriku disebut sebagai Grey. "Tidak apa-apa. Tapi aku tidak mengerti pertanyaanmu.”

Matanya yang cerah mengamatiku seperti scanner. "Apa yang kau inginkan, Arthur?"

Apakah ini bagian dari ujian? Aku bertanya-tanya, tetapi dengan lantang, aku berkata, “Aku tidak yakin itu pertanyaan yang tepat. Yang ku butuhkan adalah belajar bagaimana mengendalikan kekuatan Fate.”

“Jika Fate adalah sesuatu yang bisa diajarkan, diturunkan dari orang ke orang, maka alam semesta kita akan sangat mudah digenggam telapak tangan dan hancur.” Dia menompang dagu dengan tangannya saat dia terus melahapku dengan matanya. "Tidak. Yang kau inginkan adalah kekuatan. Kekuatan untuk melindungi semua orang yang kau cintai dan mengalahkan musuhmu.”

Aku menyilangkan tanganku. “Tapi bukankah itu hal yang sama? Bahkan dengan keempat elemen yang ku miliki, aku tidak bisa mengalahkan bahkan satu scythe. Aku ingin—aku membutuhkan—sesuatu yang lebih kuat. Dari apa yang diberitahu padaku, itu adalah Fate. ”

Dia berdiri tegak sekali lagi, mencongkel pedang aether-nya dari tanah. “Maka Kau harus membuka pikiranmu untuk ide-ide baru. Kau membutakan diri sendiri dengan mencoba melihat aether melalui perspektif mana, menyamakannya satu sama lain. Hanya setelah kau memahami aether lebih dalam, baru kau dapat mulai memahami Fate. Sekarang buat pedangmu. Tunjukkan padaku bahwa kau mengerti.”

Belatiku terbentuk saat aku berdiri, ujungnya bergerigi dan kurang stabil.

Dia menatapnya dengan mengejek. "Serang aku."



Credit to Tapas as original english publisher. Support author dengan baca dan subscribe versi inggrisnya di tapas.
 
Suport admin:
Gabung ke Tapas menggunakan invite code AMIR280K untuk mendapatkan sekaligus menyumbang Ink!
 

Komentar

Posting Komentar