Bab 361: Reruntuhan/Peninggalan Ke Dua (Bag 3)
Setelah waktu yang terasa seperti berhari-hari berlalu, sparring kami terus berlanjut. Aku teringat tentang masa lalu saat berlatih di aether-orb dengan Kordri ketika Djinn
dan aku saling bertarung hingga terhenti, pertempuran kami berlangsung
selama berjam-jam pada suatu waktu. Tak satu pun dari kami menahan diri,
kami juga tidak saling memberi keringanan pada lawan. Djinn bisa
memanggil beberapa senjata sekaligus dan mengubah bentuknya dengan
instan dan dengan presisi yang tak terduga, tapi aku adalah seorang
pendekar pedang yang lebih baik.
Dan untuk pertama kalinya sejak Dawn's Ballad hancur, aku memiliki pedang sungguhan lagi.
Butuh waktu untuk mendalami nasihat yang diwariskan Djinn,
tapi itu bukan pertama kalinya aku harus mempelajari kembali sesuatu
yang ku pikir telah ku ketahui dengan baik. Perlahan-lahan, selama
berjam-jam atau berhari-hari, aku telah berlatih membiarkan niatku
membentuk bilah aether.
Dalam praktiknya, konsepnya mirip dengan bagaimana Three Steps melatihku untuk memahami jalur aetheric pada God Step
tanpa harus "melihat" terlebih dahulu. Padahal sebelumnya rasanya
seperti mencoba membentuk air dengan tangan kosong, itu menjadi senyaman
dan sealami mengepalkan tangan, meskipun mempertahankan bilahnya masih
membutuhkan hampir seluruh konsentrasiku.
Aku menyeringai saat kami bertarung, menikmati sensasi senjata aetheric di tanganku. Bilahnya sendiri lebih panjang dan lebih lebar dari Dawn's Ballad
sebelumnya, sedikit lebih lebar di bagian dasarnya dan meruncing ke
titik setajam silet, dan memancarkan warna batu kecubung yang cerah.
sebuah crossguard (pelindung pada pedang) melindungi tanganku—tambahan yang aku buat setelah Djinn itu memukul buku-buku jariku dengan menyakitkan dan mengganggu fokusku pada senjata itu.
Memegang pedang merevitalisasiku, memberiku kembali sesuatu yang bahkan tidak ku sadari telah hilang. Baik sebagai King Gray maupun sebagai Arthur Leywin, penguasaan seni ilmu pedang sangat tertanam dalam diriku, dan ketika Dawn's Ballad hancur, rasanya seperti kehilangan anggota tubuh.
Setiap kali pedang aether-ku beradu dengan salah satu dari senjata aether Djinn,
dengungan yang nyaring bergema memenuhi udara, dan ruang di sekitar
benturan tampak melengkung, sedikit tertekuk ke luar dan menyebabkan
distorsi yang terlihat. Itu memberi kesan bahwa pertarungan kami
mengubah tatanan dunia di sekitar kami, dan aku penasaran apakah itu
hanya karena kami berada di alam mental—beberapa representasi dari
pikiranku tumbuh saat penggunaan pedang— atau jika simulasi mental ini
secara akurat menggambarkan dampak fisik asli senjata aether.
Djinn itu melesat ke arahku dengan semangat perang yang kuat. Senjata di tangannya berubah menjadi glaive (sejenis
tombak), sementara sepasang pedang berputar ke kepala dan pinggulku.
Aku melompat ke udara, berputar secara horizontal dengan tanah sehingga
pedang terbangnya meleset di atas dan di bawahku. Dengan glaive, Djinn
itu memotong ke atas dalam gerakan pendek dan tajam yang dimaksudkan
untuk menangkapku di udara, tapi aku tidak perlu menginjakkan kakiku di
tanah untuk bereaksi.
Melakukan God Step ke belakangnya, tetapi tidak bisa mempertahankan konsentrasi pada pedang aetheric
yang melintasi ruang. Waktu yang dibutuhkan untuk mereformasi pedang
itu membuatku kehilangan keuntungan, memberikan waktu bagi Djinn itu untuk berputar dan menghindari tebasanku yang diarahkan ke pinggangnya. Aku mengalihkan momentum ayunanku menjadi pukulan overhead, memaksanya untuk membawa senjatanya sendiri—yang menjadi pedang lagi—untuk bertahan.
Aku
bersandar ke depan dan mendorong keras, mengirim lawanku meluncur ke
belakang saat aku mengulurkan pedangku untuk menangkis serangan mendadak
dari senjata yang terbang tanpa penyangga di sekelilingnya.
Memicu God Step, aku melintas ke sampingnya, lalu segera melakukan God Step
lagi ke sisi yang berlawanan dan membentuk pedangku, menusukkannya ke
dadanya, tapi dia sudah bergerak, banyak pedangnya berayun untuk
bertahan dari berbagai sudut serangan.
Aku mengulanginya beberapa
kali, setiap kali mencoba membuatnya lengah, menyerang dari arah yang
berbeda, tapi dia menandingiku langkah demi langkah, tak satu pun dari
kami mampu mendaratkan pukulan telak ke lawan.
Lalu tiba-tiba
senjatanya lenyap dan dia berkedip—bukan matanya, tapi cahaya seluruh
tubuhnya, seolah-olah dia menjadi tidak terlihat untuk sesaat. Aku
membiarkan pedangku sendiri memudar.
"Apa kau baik-baik saja?"
Dia
mengangguk, tapi mau tak mau aku berpikir bahwa wujudnya tidak seterang
dulu. “Aku khawatir waktu kita hampir habis. Kita harus”—kekosongan
putih menghilang, dan aku kembali melihat reruntuhan batu yang
bobrok—“kembali ke teman-temanmu.”
Proyeksi Djinn hilang, dan suara itu sekarang berasal dari kristal di tengah ruangan. "Kau telah melakukannya dengan baik, descendant."
Caera dan Regis berdiri dari tempat mereka berdua duduk di salah satu dinding yang runtuh. Caera terlihat lega, tapi Regis menatapku dengan kesal. Aku telah kembali ke armor-ku, atau lebih tepat bahwa aku tidak pernah melepasnya, karena semua pertempuran telah terjadi dalam pikiranku.
"Kau menikwati waktu indahmu," katanya cemberut. "Itu berlangsung jauh lebih lama daripada terakhir kali."
“Oh,” kataku, tanpa memikirkan waktu sedetik pun saat aku berlatih dengan Djinn. "Sudah berapa lama?"
"Sepuluh menit, paling lama," jawab Caera, menyenggol Regis dengan lututnya. “Kau hanya berdiri di sana, menatap kosong… Itu agak menyeramkan, sungguh.”
Kristal
itu berdenyut saat menyela, berkata, “Sayang sekali aku tidak memiliki
energi untuk melanjutkan, tetapi mewujudkan alam pikiran itu melelahkan.
Namun, aku yakin kau telah membuat kemajuan yang cukup untuk terus
melatih teknik aether blade-mu sendiri.”
"Dan ujiannya?" Aku bertanya. Selain berdebat dan mendiskusikan bagaimana aku bisa berkembang, dia tidak memberiku ujian lain.
"Sebuah ujian karakter dan kemauan," jawab kristal itu. "Kau telah lulus, menurut penilaianku, dan akan mendapatkan hadiahmu."