Langsung ke konten utama

Novel The Beginning After The End Chapter 342 (Bag 1) Bahasa Indonesia



Bab 342:  Duality (Bag 1) 

TESSIA ERALITH

Dingin. Sangat dingin. Tapi sensasi udara dingin yang menggigit kulitku—kulitku, membuatku sadar akan keadaanku—sangat melegakan. Menyadari bahwa…

Aku hidup.

Mengistirahatkan tangan lemahku di besi sedingin es yang membentang di sekitar balkon selebar sepuluh kaki, aku menatap pegunungan bersalju yang tak berujung, bermil-mil jauhnya, puncak gunung yang menjulang dari bumi seperti gigi dari naga raksasa.

Tidak, ini bukan Bumi, ini tempat asing. Meskipun berulang kali memikirkan fakta mengejutkan ini, aku belum bisa menerimanya. Siapa yang tahu ada dunia lain selain bumi? Dan bahwa seseorang bisa ... terlahir kembali ke tubuh orang lain.

Tatapanku tertuju pada rangkaian rune yang tergambar di lenganku, bersinar samar dengan cahaya hangat. Lengan ini lebih ramping daripada di kehidupan sebelumnya ...

Sebelumnya?

Aku memejamkan mata dengan kuat melawan ingatan di dalam kepalaku, sampai aku melihat kunang-kunang sebelum membukanya lagi.

Keadaannya sangat buruk—jauh lebih buruk—saat pertama kali aku melihat lengan kurus dan rune yang muncul ditanganku. Nico masih ada di depanku—meskipun aku masih asing dengan rupanya, tentu saja. Matanya menatap mataku. Aku muntah di bajunya lalu pingsan…

.....

Di kejauhan, makhluk bersayap seukuran pesawat terbang berputar-putar di salah satu puncak gunung, sedang berburu. Apa yang Nico sebut untuk makhluk itu?

Mana-beast.

Saat aku memperhatikan, mengalihkan perhatianku sepenuhnya dari tubuhku sendiri dan rune bercahaya di kulitku yang sekarang menjadi putih, monster yang luar biasa itu sedang menutup sayapnya dan menukik dengan cepat, menghilang tertutup lereng dan lembah. Aku berharap aku bisa bermain sepertinya, terbang melintasi pegunungan, tanpa terhalang apapun, dengan sihir yang dimiliki tubuh ini.

Dari semua hal menakjubkan yang ku lihat dan pelajari, terbang jelas merupakan favoritku.

Terbang, bagaimanapun, membuatku memikirkan pertempuran pertamaku di dunia baru ini, tentang kekuatan musuh kami yang diluar nalar, membuatku semakin menggigil mengingatnya, mengangkat lenganku.

Kami tidak menyangka akan ada serangan dari mereka... Aku masih belum tahu apa yang sedang terjadi, hanya saja teman baruku Agrona—orang yang memberi Nico dan aku kesempatan hidup lagi—membutuhkan bantuanku. Aku hanya menjalani apa yang mereka minta, sampai saat…

Aku bisa terbang, pikiranku pusing. Aku tidak pernah melakukan itu sebelumnya.

Berbalik tiba-tiba, aku bergegas kembali ke kamarku dan menutup pintu. Rasa pusing semakin kuat mengancam menguasaiku, jadi aku duduk di kursi di depan perapian yang menyala, menggosok pangkal hidungku dengan kuat, seluruh tubuhku kaku melawan rasa mual.

Memori yang tidak diinginkan muncul. Aku sedang berjalan melintasi kampus sekolah pada suatu hari, ketika tubuhku mulai sakit dan gemetar, ki yang meluap menyapuku seperti ombak di atas lautan badai, dan ketika gelombang ki itu memecah daratan… aku terkapar di lantai, tubuhku terkurung dalam kepompong hitam, tanaman merambat dan berduri, ada makhluk yang marah yang tersembunyi di dalam diriku sedang menyerang, mengaum dengan kebencian …

Sambil menggelengkan kepala dengan keras, aku menolak ingatan itu, menyelipkan lututku ke dada dan melingkarkan tanganku di sekelilingnya.

Bernapas, bernapas saja, Cecilia.

Sensasi aneh, merasa ada sesuatu yang salah dan memusingkan biasa terjada pada awal reinkarnasi. Nico mengatakan itu hanya pikiranku yang menyesuaikan diri dengan fisik baruku, tapi—

Ketukan di pintu membuatku terlonjak.

Bangun dari kursi, aku menatap pintu. "Siapa?" Aku bertanya setelah beberapa detik.

Cecilia, ini Nico. Boleh aku masuk?"

Aku melihat api, menari dalam nuansa oranye dan kuning, dan mengambil napas dalam-dalam untuk menekan rasa pusing yang tersisa di kepalaku. "Ya, tentu saja."

Pintu kayu yang berat itu terbuka ke dalam, memperlihatkan sosok yang lebih tinggi dariku, dengan kulit pualam dan rambut hitam legam. Dia melangkah masuk dan membiarkan pintu menutup perlahan sebelum melintasi ruangan untuk duduk kaku di tempat tidurku.

Nico terlihat sangat berbeda, dan bukan hanya fitur fisiknya. Apa pun yang terjadi padanya dalam kehidupan baru ini pasti terasa berat baginya. Itu telah membuatnya kesulitan.

"Bagaimana perasaanmu?" dia bertanya, matanya yang tajam membakarku seolah-olah dia sedang mencoba melihat jiwaku, yang tersembunyi di balik kulit yang kukenakan.

"Baik," jawabku, terlalu cepat.

Pembohong.

"Aku baru saja mengalami pusing dan sakit kepala" kataku. "Tapi aku baik-baik saja."

Nico turun dari tempat tidur dan langsung berlutut di sampingku. Ketika tangannya diletakkan di atas tanganku, aku menarik tanganku saat sesuatu di dalam diriku menolaknya.

"Maaf," bisikku, tapi aku tidak meletakkan tanganku kembali.

“Tidak, Cecilia, tidak apa-apa. Tidak apa-apa, sungguh.” Rasa kecewa yang jelas membuatnya menatap ke arahku dari mata yang tidak dikenal itu, tetapi dia melepaskan tangannya dari lengan kursiku. "Aku tahu ini semua sangat membingungkan."

Tetap dalam kebingungan tidak akan menyelesaikan masalah.

"Lakukan latihan," saran Nico.

Mengangguk, aku memejamkan mata dan mulai fokus pada cahaya oranye api yang memantul di kelopak mataku. Kemudian, bernapas dalam-dalam, fokusku mengikuti udara yang masuk melalui hidung dan turun ke dalam paru-paruku, aku menahannya sebentar.

Saat aku menghembuskannya, fokusku tetap pada paru-paruku, bagaimana tulang rusukku bergerak saat dadaku naik dan perutku mengembang, menyebabkan interaksi otot, tulang, dan organ yang rumit. Di sana, aku mencari inti manaku, merasakannya, dan menelitinya.

Butuh satu menit, tetapi akhirnya aku menemukannya di dekat ulu hatiku. Begitu aku menyadarinya, rasanya tidak mungkin untuk tidak diperhatikan: bola berkekuatan panas warna putih, menungguku untuk menarik badai energi yang terkandung di dalamnya. Mirip seperti pusat ki ku, tapi ... lebih dari itu.

Tapi ada sesuatu yang lain di sana juga.

Di dalam inti mana, aku bisa merasakan kesadaran lain, yang punya keinginannya sendiri, seperti yang ada dalam ingatan tubuh ini. Tentakel hijau yang mengamuk menggeliat, membuat perutku bergejolak.

Itu beast-will milik Elderwood Guardian

Mataku terbelalak saat aku terdorong keluar dari meditasi karena rasa mual yang diberikan beast itu padaku. Dari sudut mataku, aku melihat Nico memperhatikanku dengan seksama.

"Merasa lebih baik?" tanyanya saat aku membuka mata.

Aku hanya mengangguk sebagai jawaban.

Nico berdiri dan mundur selangkah dengan ragu. “Agrona ingin kita ikut untuk makan malam bersama satu jam mendatang, di ruangan pribadinya. Mau aku menunggumu selesai ganti baju?”

Aku menggelengkan kepalaku kali ini, lalu menyelipkan seikat rambut ke belakang telingaku. “Tidak perlu, sampai jumpa di sana.”

Dengan anggukan, Nico meraba-raba di belakangnya mencari pegangan pintu, lalu mundur ke lorong, tidak mengalihkan pandangannya dariku sampai pintu itu tertutup rapat.

Menghela napas dalam-dalam—sesuatu yang jarang kulakukan di kehidupanku sebelumnya, tetapi merasa perlu untuk sering melakukannya sekarang—aku duduk di kursi dan menggerakkan kakiku lebih dekat ke api, cukup dekat hingga merasa tidak nyaman.

Seperti hawa dingin, sensasi api yang panas menjilati kakiku membuatku merasa…

Hidup?



Credit to Tapas as original english publisher. Support author dengan baca dan subscribe versi inggrisnya di tapas.
 
Suport admin:
Gabung ke Tapas menggunakan invite code AMIR280K untuk mendapatkan sekaligus menyumbang Ink!